Kampuang Dobi Pariaman Utara, Berdiri sebuah bangunan surau (mushola) yang sekarang sudah di renovasi. Disini tempat berkumpul belajar agama/mengaji, sikap/prilaku, dan tata bahasa.
Itulah kato nan ampek yang terdapat di Minangkabau. Pembagian kata tersebut
bukanlah dimaksudkan untuk menentukan status sosial seseorang, akan tetapi
lebih kepada etika atau seni berbicara. Dalam tata bahasa Minangkabau, selain
kato nan ampek masyarakat juga mengenal ungkapan kato partamo batapati, kato
kaduo kato bacari artinya setiap kata yang diucapkan haruslah ditepati, setiap
kata yang datang kemudian dianggap sebagai helah, dicari-carikan atau alasan
yang dibuat-buat.
Kato (bahasa Minang) atau kata begitu penting dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau. Karena saking pentingnya, disebutkan bahwa pusako adolah kato
(pusaka adalah kata). Kemudian dalam ungkapan lain disebutkan bahwa nan dipacik
adolah kato (yang dipegang adalah perkataan) artinya hanya kata ucapanlah yang
dapat dipegang atau dipercayai.
Di Minangkabau terdapat seni berbahasa atau berbicara, yang dikenal dengan
kato nan ampek. Kato nan ampek (kata yang empat) adalah empat macam cara
berbahasa atau berkata-kata yang harus diperhatikan oleh setiap orang di
Minangkabau dalam melakukan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
Kata pertama, kato mandaki (kata mendaki) adalah cara berbahasa atau
berbicara yang dilakukan oleh orang yang lebih muda kepada yang lebih tua.
Seperti perkataan seorang anak kepada orang tua, adik kepada kakak, keponakan
kepada mamak (paman), Datuk, nenek, kakek, dan orang-orang yang dihormati
seperti guru, ulama dan lain sebagainya. Cara berbicara dalam kato mandaki
tidak hanya susunan kata yang harus sopan, akan tetapi cara pengucapan atau
intonasi suara dan sikap harus dijaga pada saat percakapan sedang berlangsung.
Kata kedua, kato manurun (kata menurun) adalah cara berbahasa yang
dilakukan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Seperti perkataan
seorang Penghulu kepada keponakan, orang tua kepada anak, kakak kepada adik,
seorang guru kepada murid, dan lain sebagainya. Pada kato manurun ini juga
terdapat etika tersendiri, dimana katanya harus jelas dan dapat dimengerti,
serta kata-kata yang diucapkan harus dapat menjaga perasaan yang lebih muda,
agar tidak merasa diremehkan atau dilecehkan.
Kata ketiga, kato malereng (kata melereng) adalah cara berbahasa atau
berbicara yang dilakukan antara sesama yang disegani. Seperti contoh perkataan
Mamak Rumah kepada Sumando (ipar), seorang mertua kepada menantu, dan lain
sebagainya. Biasanya kato malereng ini sipembicara atau lawan bicaranya sering
menggunakan kata ungkapan, perlambangan, pengandaian. Etikanya adalah tidak
boleh bicara secara lugas, tuntas, dan terus terang, karena akan dianggap
kurang sopan.
Kata keempat, kato mandata (kata mendatar) adalah cara berbicara atau
berbahasa yang dilakukan oleh orang yang seusia atau sebaya. Dalam kato mandata
pembicaraan dapat berlangsung secara bebas, karena sipembicara dan lawan
bicaranya berapa pada taraf dan tingkatan yang sama.